Oleh : Ahmad Syafii
Maarif
Pernah terjadi
perdebatan panjang pada kurun 1930-an tentang hubungan politik dan agama,
antara elite santri nasionalis dan elite nasionalis non-santri. Gaung
perdebatan itu masih dirasakan sampai tahun 1950-an. Isu pokok yang
diperdebatkan berpusat pada masalah apakah politik itu kotor atau tidak.
Non-santri
bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan
dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik
itu kotor perlu dibersihkan dengan agama.
Jadi, memang
terdapat persamaan pandangan antara santri dan non-santri, politik itu kotor.
Bedanya, bagi santri, agar politik itu tidak kotor, politik jangan dipisahkan
dari agama. Non-santri menjawab, agama akan menjadi kotor jika bercampur-aduk
dengan politik.
Agama dan Politik
Begitulah caranya
elite bangsa tempo dulu memandang hubungan politik dan agama, masing-masing
tetap bertahan pada pendiriannya. Jika substansi perdebatan ini kita baca
dengan menggunakan kaca mata hari ini, fenomena sangat menarik jelas terlihat
di depan mata kita.
Jika dulu tokoh
santri sangat menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi oleh politik
yang kotor, sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang
dalam lumpur politik yang kotor itu.
Kondisi semacam
inilah yang sangat memprihatinkan mereka yang masih menyimpan nilai-nilai luhur
agama dan Pancasila. Nilai-nilai ini sekarang di dunia politik kita telah
dibuang ke limbo—tempat pembuangan atau pengasingan—sejarah demi memburu uang
dan kekuasaan yang tidak pernah merasa puas. Ibarat menghirup air laut, semakin
dihirup semakin dahaga.
Tentu, di ranah
pragmatisme politik yang keras dan kejam, siapa yang masih hirau dengan
ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat dalam semua tradisi di berbagai unit
peradaban yang pernah dikenal sejarah umat manusia? Nyaris tidak ada. Tujuan
mulia politik untuk kesejahteraan rakyat telah dikorbankan sedemikian rupa
untuk memuaskan nafsu pragmatisme para elite yang kini sedang berburu harta dan
kekuasaan. Akibatnya, simbol-simbol agama yang sering digunakan untuk mencari
pendukung dan pengikut menjadi hambar dan kecut.
Di tangan mereka
inilah sekarang demokrasi benar-benar tersandera sehingga tujuan mulia
kemerdekaan untuk kesejahteraan bersama semakin menjauh saja. Politisi telah
kehilangan kepekaan nurani, pengaruh uang demikian dahsyat. APBN/APBD/BUMN/BUMD
terus saja diincar.
Inilah sebuah
negeri yang dikatakan beragama, tetapi kelakuan warganya alangkah busuknya.
Dan ironisnya,
teman separtai langsung berkomentar, politisi bukan malaikat. Sebuah komentar naif,
defensif, dan reaktif, tetapi diucapkan tanpa beban moral yang semestinya
terlihat pada diri seorang santri.
Jika demikian
faktanya, perdebatan lama di atas masih cukup relevan untuk diungkap kembali.
Atau, agar hidup ini tidak kepalang tanggung, buang saja simbol-simbol agama
itu, langsung saja berenang dalam lautan politik yang kotor dan busuk itu
bersama pihak lain yang juga punya filosofi serupa.
Partai Moralis
Dalam sejarah
perpolitikan Indonesia, kita mengenal dua partai moralis, yakni Masyumi dan
Partai Katolik. Sekalipun berbeda agama, tokoh-tokoh kedua partai ini sangat
terlihat ketat dalam mengawal moralitas anggotanya yang bergerak dalam politik.
Mereka menjadikan agama sebagai ajaran moral yang wajib dipedomani dalam
mengawal perilaku politik anggotanya. Sebab, tanpa moral, politik pasti merusak
(destruktif).
Kerusakan inilah
yang kini sedang mengepung kehidupan bangsa ini, pelopornya tidak lain adalah
politisi yang tunamoral, tetapi hebatnya tidak kehilangan senyum saat memberi
keterangan kepada wartawan. Alangkah hina dan kejinya tontonan serupa ini.
Di era modern,
sistem demokrasi memang tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran partai yang
memang menjadi pilar utama sistem itu. Di sinilah kesulitannya sebab partai di
Indonesia pasti menjadi sarangnya politisi. Sistem ini akan dapat berfungsi
dengan baik manakala politisinya belajar menjadi negarawan yang lebih
memikirkan persoalan bangsa dan negara secara keseluruhan, bukan terpaku dan
terpukau oleh godaan kekuasaan sesaat yang menyebabkan orang kehilangan
keseimbangan untuk berpikir jernih.
Sebuah partai yang
berlagak suci jika suatu saat kesandung musibah moral, reaksi publik
terhadapnya pasti akan sangat keras, dan tidak mustahil brutal, yang dapat
menyebabkan partai itu kehilangan wibawa dan kepercayaan. Yang akan menjadi
korban adalah konstituen partai ini yang sebelumnya punya kebanggaan dan
kepercayaan tinggi kepada sosok pemimpin yang ternyata tidak banyak berbeda
dengan politisi korup lain.
Akhirnya, sebuah
ungkapan dalam Al Quran dalam Surat Al-Hasyr Ayat 2 yang maknanya, ”Maka
ambillah pelajaran moral, wahai orang-orang yang punya penglihatan tajam,”
mungkin perlu direnungkan kembali dalam suasana serba tidak pasti seperti
sekarang ini.
Ahmad Syafii
Maarif, Pendiri Maarif Institute
Post a Comment