Oleh : Ahmad Syafii
Maarif
Wartawan
senior Kompas menilai, membeludaknya dukungan terhadap kasus penahanan
Bibit-Chandra oleh kepolisian menunjukkan nurani rakyat belum mati. ”Bagi
rakyat, nurani inilah harta yang tersisa,” tutur wartawan itu melalui SMS
kepada saya.
Meski
rakyat telah lama menjadi bulan-bulanan dan tertipu bermacam retorika politik,
baik dalam format janji-janji muluk saat pemilu maupun dalam corak pencitraan
diri, toh dalam masa-masa kritikal nurani mereka yang terdalam tidak dapat
dilumpuhkan. Itulah milik terakhir rakyat di tengah penderitaan yang belum
teratasi sejak proklamasi, lebih dari 64 tahun lalu.
Sejarah Indonesia
Sebagai
seorang peminat perjalanan sejarah Indonesia, dengan prihatin saya membaca,
hanya sedikit di antara pemimpin kita yang benar-benar serius mengurus masalah
bangsa ini demi mencapai tujuan kemerdekaan: keadilan dan kesejahteraan bagi
semua. Sebagian besar adalah petualang yang tidak merasa malu mengatakan bahwa
mereka adalah Pancasilais sejati.
Dengan
kemajuan yang telah diraih di sana-sini dalam berbagai sektor kehidupan—dan
capaian itu perlu disyukuri bersama—bangsa ini tetap dilingkari gurita budaya
kumuh yang dapat membawa kita pada ketidakpastian masa depan.
Hingga
detik ini, kita sedang membau aroma busuk tentang kemungkinan adanya kaitan
antara kasus Bibit S Rianto- Chandra M Hamzah dan perampokan (istilah Jusuf
Kalla) yang menimpa Bank Century, tetapi kita tidak tahu sampai di mana
benarnya serba dugaan itu.
Saya
mendapat informasi dari salah seorang pengacara Bibit-Chandra, keduanya berniat
melakukan pengusutan terhadap megakasus Bank Century, akan mereka teliti,
selama ini, ke mana dana haram itu mengalir. Namun, segala kecurigaan ini akan
tetap menggantung di langit tinggi selama keangkuhan kekuasaan masih
mendominasi sistem perpolitikan kita, meski sering dibungkus dalam jubah
kesopanan lahiriah. Pragmatisme politik amat terasa dalam kultur kita, sebuah
kultur tunamoral dan tunavisi.
Namun,
sekiranya Bibit-Chandra tak diperlakukan dengan cara kasar melalui penahanan
paksa, reaksi publik tentu tidak akan sedahsyat seperti terjadi pada hari-hari
terakhir ini. Presiden yang semula terkesan tak mau campur tangan karena
menilai kasus itu sebagai kasus biasa, akhirnya ”dipaksa” kenyataan untuk
membentuk apa yang disebutnya sebagai Tim Independen Verifikasi Fakta dan
Proses Hukum (TIVFPH) dengan masa kerja dua minggu, mulai Selasa (3/11/2009).
Apakah
tim ini akan berhasil melakukan tugasnya, mari kita tunggu. Namun, ungkapan
independen agak sedikit terganggu oleh masuknya dua pakar hukum yang sudah
sedikit menempel dengan kekuasaan, meski di kawasan pinggiran.
Sebagai
seorang demokrat yang tak ingin melihat demokrasi menggali makamnya sendiri
untuk sekian kalinya sejak kita merdeka, prasangka semacam ini harus saya tekan
sambil menanti hasil kerja tim yang baru dibentuk. Siapa tahu, semua anggota
tim adalah manusia merdeka yang hanya terikat dengan filosofi, demi tegaknya
kebenaran dan keadilan, tidak peduli siapa yang membentuknya.
Sulit ditaati
Seterusnya
keangkuhan kekuasaan dalam masalah Bibit-Chandra ini juga disampaikan seorang
petinggi Polri dalam formula ”cicak lawan buaya”, meski Kapolri telah minta
maaf agar istilah itu tidak lagi digunakan. Larangan penggunaan ungkapan
keangkuhan ini sulit ditaati karena orang tidak mungkin melompat ke depan dalam
satu kevakuman.
Mohon
saya dimaafkan Pak Kapolri jika istilah ini masih saya pakai dalam artikel ini.
Cicak tidak lain adalah KPK yang kecil, berhadapan dengan Polri yang kuat, yang
langsung berada di bawah payung presiden yang berkuasa, sebuah posisi yang
perlu dipertanyakan kembali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Akhirnya,
saya berharap agar pertarungan antara Polri melawan KPK akan dapat diselesailan
secara baik, jujur, dan adil. Jangan sampai kehebohan ini membawa kita pada
krisis kepercayaan pada demokrasi yang sungguh berbahaya.
Sebagai
catatan kecil di ujung artikel ini, saya perlu menyebut bahwa perhatian publik
demikian besar tersita oleh kasus Bibit-Chandra ini sehingga gaungannya jauh
melampaui ingar-bingarnya perhelatan Dialog Nasional (National Summit) ala
Obama yang digagas presiden pada awal masa jabatan keduanya.
Prof. Ahmad Syafii
Maarif
Mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah
Post a Comment