Kamis (22/1/2015) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI) menyelenggarakan silaturahmi nasional tokoh-tokoh KAHMI lintas politik
dan profesi.
Hadir Wapres Jusuf Kalla, Ketua Wanbin Golkar Akbar Tanjung,
beberapa ketua lembaga negara, beberapa menteri, dan anggota DPR dan DPD dari
KAHMI. Berikut petikan Pidato Pembukaan Ketua Majelis Nasional KAHMI Prof Dr
Moh Mahfud MD. Pertemuan silaturahmi ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
membangun sinergi langkah warga KAHMI ke dalam satu tujuan meski dalam pilihan-
pilihan dan perahu politik serta profesi yang berbeda.
Silaturahmi kaukus KAHMI ini penting untuk menegaskan bahwa
“idealisme” HMI sebagai pencetak insan cita harus terus dibangun secara
bersama, tak peduli apa pun perahu politik atau kendaraan organisasi yang
dipakai masing- masing. Tentang ini saya ingin mengambil iktibar (pengibaratan)
dari sikap panglima perang Khalid ibn Walid ketika tiba-tiba harus berhenti
sebagai panglima perang dan menjadi serdadu biasa.
Khalid ibn Walid adalah seorang sahabat nabi yang menjadi
panglima yang selalu menang dalam peperangan seperti Perang Muktah, Perang
Yarmuk, dan sebagainya. Sepanjang kariernya sebagai panglima tak sekalipun
pasukan Khalid ibn Walid kalah. Karena keperkasaannya dalam memimpin perang,
Khalid ibn Walid oleh Rasulullah dijuluki sebagai Pedang Allah (Saifullah).
Tetapi, sungguh dramatis, ketika Khalid berada pada puncak
prestasinya yang penuh sinar gemilang, saat ekspansi Islam ke Yaman dan bagi
tentara Islam kemenangan sudah tinggal selangkah lagi, Khalifah Umar ibn
Khaththab tiba-tiba memberhentikan Khalid dari jabatannya sebagai panglima
perang. Umar sendiri sebenarnya pengagum Khalid ibn Walid sehingga dia pernah
mengatakan bahwa takkan pernah ada seorang ibu yang bisa melahirkan anak
seperkasa Khalid.
“Khalid tak pernah tidur dan membuat orang tidak bisa tidur
untuk selalu berjuang,” kata Umar. Tetapi, Umar khawatir terjadi kultus
terhadap Khalid ibn Walid karena setiap orang meyakini Khalid pasti akan menang
dalam setiap perang yang dipanglimainya. Maka itu, Umar pun memutuskan untuk
memberhentikan Khalid ibn Walid. Kaum muslimin kecewa dan mempertanyakan sikap
Umar terhadap Khalid itu.
Tetapi, Khalid ibn Walid, sang Pedang Allah, berkata dengan
tegar, “Saya berperang bukan untuk Umar. Saya berperang untuk Allah. Sebab itu,
jadi panglima atau jadi serdadu biasa saya akan tetap berjuang di jalan Allah.”
Khalid pun terus berperang, membawa panji-panji Islam, meratakan pemahaman dan
perasaan bagi umat manusia bahwa Islam adalah agama yang lurus, penyebar rahmat
bagi seluruh alam.
Iktibar yang dapat kita ambil dari episode Khalid ibn Walid
itu adalah pada posisi apa pun kita berada hendaklah tetap berpijak pada nilai
dasar perjuangan. Kalaulah ada di antara kita yang merasa gagal karena
kemenangan atau karena kekalahan seseorang dalam kontes politik misalnya dalam
pileg dan pilpres kemarin, kita harus tetap berkata de-ngan gagah, “Saya
berjuang bukan untuk Jokowi” atau yang lain bisa mengatakan, “Saya berjuang
bukan untuk Prabowo”, tapi berjuang untuk Indonesia.
Berjuang untuk Indonesia artinya mendukung pemimpin yang
telah dipilih oleh rakyat Indonesia. Siapa pun yang menang atau yang kalah
haruslah diterima sebagai kewajaran dalam proses politik yang demokratis dan
kita akan terus berjuang melalui posisi masing-masing karena sebenarnya tujuan
kita sama yakni “Indonesia yang maju dan jaya”.
Kita tidak perlu bermusuhan dan masing-masing kita harus
menjadi Khalid ibn Walid untuk bangsa dan negara, harus terus fokus pada tujuan
membangun kesejahteraan rakyat Indonesia sebagai tujuan konstitusional negara
kita. Karena tujuan konstitusional dan tujuan ber-HMI kita sudah jelas, berdiri
dari posisi politik mana pun asal kita konsisten dan istikamah dengan tujuan
itu, hasilnya akan baik.
Kita tidak harus berkumpul di satu lingkaran, tapi bisa
berada di lingkaran dan jalan yang berbeda- beda, namun dengan titik
tujuanyangsama: kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Pertemuan silaturahmi ini
dimaksudkan untuk menyatukan kesamaan ide dan suasana batin di antara kita yang
berbeda-beda posisi.
Mari memperkuat kalimatun sawa (visi dan langkah yang
disinkronkan arahnya ke tujuan yang sama) melalui pintu-pintu eksekutif,
legislatif, yudikatif, auditif, konsultatif, ormas, LSM, perkumpulan,
paguyuban, dan lain-lain. Yang berjuang di lingkungan eksekutif bekerjalah habis-habisan
agar lembaga eksekutif sukses di dalam tugas-tugas konstitusionalnya. Begitu
pun yang ada di lembaga legislatif atau lembaga lain, bekerjalah secara lurus
dan istikamah agar lembaga yang digelutinya sukses pula meraih tujuan-tujuan
konstitusional kita.
Semua berangkat dari idealisme HMI untuk menuju idealisme
HMI pula yakni “Indonesia sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur, bukan
Indonesia sebagai baldatun sayyibaldatun sayyiatun wa rabbun rujuum”. Indonesia
sebagai negara sejahtera yang mendapat ampunan Tuhan bukan Indonesia sebagai
negara terpuruk yang dilaknat oleh Tuhan.
Tugas-tugas ke-HMI-an untuk membangun insan akademis
pencipta dan pengabdi sangatlah luas, tak terbatas pada soal-soal politik.
Itulah sebabnya pada malam ini MNKAHMI meluncurkan pula “Gerakan Wakaf” yang
akan didedikasikan pada upaya membangun lembaga pendidikan (ambisinya,
membangun universitas) dan pelayanan kesehatan (ambisinya, membangun rumah
sakit) dengan harapan dapat digelindingkan oleh seluruh warga KAHMI demi
khidzmah bagi bangsa dan negara.
Prof. MAHFUD MD
Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI)
Sumber : Koran SINDO
Post a Comment