Oleh: Asep Salahudin
Hubungan
agama dan negara telah lama dipercakapkan oleh bangsa kita. Di sidang-sidang
Konstituante, salah satu tema yang hangat diperdebatkan adalah posisi agama
kaitannya dengan negara. Apakah mau mengambil pilihan negara agama atau negara
sekuler. Sidang BPUPKI merekam pertentangan antara nasionalis sekuler dan
nasionalis Muslim (Faisal Ismail), kebangsaan, Islam dan ideologi Barat modern
sekuler (AMW Pranarka). Kata John Titaley, tiga kekuatan ideologis dengan
sengit bertarung dalam sidang itu adalah Nasionalisme, Islam, dan
Sosialisme/Marxisme.
Perdebatan panjang itu
akhirnya menemukan titik temu: Pancasila sebagai jalan tengah. Dan dengan
lapang, semua agama, kepercayaan, dan etnik menerimanya. Ide tentang dasar
negara yang awalnya diajukan Mohammad Yamin dan kawan-kawan dalam pidatonya
pada sidang BPUPKI dan dideklarasikan Ir Soekarno dengan nama Pancasila pada 1
Juni 1945 telah tampil menyelamatkan sengketa politik berbasiskan sentimen
teologis. Pancasila sebagai dasar negara hasil dari sebuah kompromi agung, dari
konsensus warga bangsa dengan melihat fakta sosiologis masyarakat Nusantara
yang heterogen sekaligus mempertimbangkan fakta teologis yang menjadi keyakinan
masyarakat negeri kepulauan.
Pancasila jadi payung
yang menaungi semua keragaman dan memberikan jaminan tentang tekad hidup dalam
NKRI. Pancasila inilah sejatinya yang menjadi perekat kokohnya negara
persatuan. Padahal, sebelumnya masih berupa puak yang terserak, kerajaan
tersebar dengan bahasa dan budaya yang juga berlainan.
Berkah Pancasila yang
digali dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan dari spirit keagamaan kita
sebagai bangsa masih bertahan sampai sekarang. Maka, dalam konteks negara
kebangsaan, tidak semestinya dilakukan:
pertama, satu kelompok merasa lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain;
kedua, menyelesaikan sejumlah persoalan publik dengan mendahulukan akal sehat
dan kepentingan bersama; ketiga, tidak diperkenankan sebuah ormas mendesakkan
keinginannya kepada ”negara” atas dasar keyakinan subyektif; keempat, selalu
yang mesti dilakukan adalah dialog atau musyawarah mufakat menjadi pintu masuk
dalam menyelesaikan hal ihwal.
Narasi
tunggal
Kesalahan besar Orde
Baru dalam kaitan dengan Pancasila tak boleh terulang. Orde Baru meski selalu
mendengungkan kembali Pancasila dan UUD 1945, dalam praktiknya, Pancasila telah
dikerdilkan menjadi sebuah ”ideologi tertutup”, dikerangkeng dalam penafsiran
tunggal. Dosa besar negara despotik yang dipimpin rezim Soeharto selama 32
tahun bermula karena iklim kebenaran dan monopoli penafsiran terhadap
Pancasila. Di luar tafsir penguasa dianggap bidah dan berbahaya. Di pusaran ini
kemudian yang dilakukan tidak terus-menerus memperkaya wawasan Pancasila,
tetapi membuat Pancasila kian tak menampilkan khitahnya seperti yang dahulu
dirumuskan para penemunya.
Mungkin masih ingat
dalam memori anak bangsa yang mengalami masa peradaban gelap Orde Baru
bagaimana Pancasila lengkap dengan P4-nya dijejalkan kepada publik lewat
indoktrinasi, pemaksaan dan jauh dari yang disebut Jurgen Habermas penciptaan
ruang deliberatif bagi terjadinya percakapan yang mengedepankan kesetaraan dan
kekuatan nalar. Kaum penguasa memosisikan diri sebagai para pihak yang seakan
telah menjadikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan politik hariannya secara
istikamah. Padahal, kenyataannya, justru sebaliknya.
Cara-cara tak patut
seperti inilah yang kemudian pada titik tertentu membuat sebagian kelompok
menjadi alergi dengan beragam hal berbau
Pancasila. Kelompok-kelompok ini, baik yang berada di sisi kiri ataupun kanan,
setelah Orde Baru tumbang kemudian melakukan kontestasi ideologis menawarkan
”dasar negara” yang dianggapnya lebih manjur ketimbang Pancasila. Banyak ormas
yang ”menggarap” masyarakat untuk memiliki pemahaman seperti mereka. Tak
sedikit masyarakat termakan fantasi ideologis-metafisisnya yang sama sekali
berbanding terbalik dengan Pancasila.
Anehnya cara-cara yang
dilakukan tak jauh beda dengan aparatus Orde Baru: indoktrinasi, cuci otak,
pengajian-pengajian tertutup, memonopoli kebenaran, menganggap liyan sebagai
kafir. Bahkan lebih jauh dari itu memandang eksistensi Indonesia sebagai
”negara transisi” untuk kemudian kelak harus berubah menuju negara yang sesuai
dengan kerajaan Tuhan yang dibayangkannya secara sepihak.
Tiba-tiba di tengah
situasi negara yang tak stabil, anggota Dewan yang tak henti bertengkar, dan
ekonomi yang tak mendistribusikan kesejahteraan dikepung pekik ormas yang
menawarkan ”politik metafisika-skolastik”, menyerukan pentingnya menghidupkan
kembali khilafah siasat Abad Pertengahan dengan fantasi tergelarnya kesalehan
bersama. Dibikinlah suasana seolah agama dan negara sesuatu yang wajib
dikawinkan, bahwa mengintegrasikan agama dalam kekuasaan harga mati dengan
sebuah praanggapan kemungkaran itu bermula karena agama tidak masuk dalam
lingkaran kuasa.
Membutuhkan
kembali
Di sinilah makna
penting kita kembali kepada Pancasila. Tak semata bernostalgia, tetapi menyempurnakan
cara bernegara supaya menemukan adabnya sekaligus memberikan jaminan kepada
mereka yang berbeda. Kita butuh Pancasila bukan karena Pancasila sangat
sempurna, melainkan justru karena komitmen bersama untuk merawat bangsa ini.
Bahwa bangsa ini bukan milik satu kelompok, melainkan milik bersama sebagai
”warisan” kaum leluhur yang telah memperjuangkannya dengan jiwa dan raga. Kita
butuh Pancasila karena secara teologis, ia sama sekali tak bertentangan dengan
agama, bahkan merupakan tafsir kreatif dan ijtihad besar yang dilakukan para
leluhur dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang ada di hadapannya. Bagaimana
mereka dengan segala kebijaksanaan dan kecerdasannya menemukan ”jalan tengah”
yang melegakan semua pihak, sebagaimana tempo dulu Muhammad SAW menemukan
”Piagam Madinah” yang digali dari kecermatan melihat realitas plural
sekitarnya.
Mencari titik temu,
bukankah ziarah kebangsaan yang diserukan Tuhan dalam senarai firman-Nya?
”Wahai para pengikut kitab suci! Marilah kamu semua menuju kepada ajaran dasar
kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tak menyembah kecuali Allah
Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa sebagian dari kita—sesama manusia—tidak
mengangkat sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah Tuhan Yang Maha
Esa! Tetapi, jika mereka, para pengikut kitab suci itu menolak, katakanlah
olehmu sekalian (wahai kaum beriman), kepada para pengikut kitab suci itu,
’Bersaksilah kamu semua bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kaum
Muslimin)’.” (Q, 3: 64)
Atau dalam ungkapan Goenawan
Mohamad, ”Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang
ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat
mencapai persatuan dalam perbedaan.... Kita membutuhkan Pancasila kembali untuk
mengukuhkan, kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap
yang manusiawi—yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat. Kita membutuhkan
Pancasila kembali karena merupakan proses negosiasi terus-menerus dari sebuah
bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ”eka, dan tak ada yang bisa
sepenuhnya meyakinkan, dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita
membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakan di atas, kita hidup di
sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia.”
Kehebatan Pancasila itu
terletak ketika ia menjadi laku. Pandu yang dapat mempercepat terwujudnya
masyarakat utama.
ASEP
SALAHUDIN
Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti di Lakpesdam
PWNU Jawa Barat
Kompas 10 Desember 2014
Post a Comment