Oleh : M Alfan Alfian
Banyak hal. Di ranah elite ada konflik berlanjut konsensus yang berdampak
pada rakyat. Dari perspektif pembangunan politik, semakin terasa stabilitas
politik ada di ranah elite.
Pengakhiran konflik di DPR terasa elitis karena memang wilayah mereka.
Rakyat lazim berharap elitenya bijak menyelesaikan konfliknya dengan baik dan
bisa lebih produktif.
Di ranah nonelite, reaksi antielite dan antipartai sering menggejolak kendati
selama ini lebih sebatas kekecewaan verbal. Orang sekadar tak suka perilaku
elite dan partai, tetapi tidak tampak bergerak konkret. Ranah civil society
kita bahkan belum mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang kuat
dalam kerangka konsolidasi demokrasi justru karena merasa itu urusan masyarakat
politik semata.
Sementara partai-partai yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi tidak
juga tampak berikhtiar memperkuat kelembagaannya. Partai masih kental
oligarkinya. Para elite menjadikan lembaganya sebagai kartel politik yang lazim
berkait dengan urusan bisnis.
Demokrasi sering berada pada simpang paradoks perilaku elitenya. Celakanya,
masyarakat awam sering terjebak pada situasi yang membuat mereka pragmatis.
Praktik demokrasi prosedural tak didukung sistem dan perilaku yang
mencerminkannya. Di sisi substansi, kita merasakan implementasi demokrasi
adalah perjuangan yang semakin tak berkesudahan. Secara prosedural, memang
sudah ada banyak perubahan dalam praktik demokrasi kita. Bahkan Indonesia lazim
dikategorikan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tapi, apa makna semua
itu?
Kepentingan bangsa
Sudah selayaknya politik Indonesia kita arahkan ke politik makna. Istilah
politik makna saya ambil dari Cliford Geerzt, ”the politics of meaning”, dalam
catatan penutup buku, Culture and Politics in Indonesia (1972). Geerzt mengajak
kita untuk mampu menangkap makna dari ragam perjalanan politik Indonesia sejak
1945.
Dinamika politik boleh berlangsung secara tajam, tetapi harus ada tepinya.
Konsensus dan konflik lazim dalam politik. Tetapi hendaknya meninggalkan makna.
Makna yang dimaksud adalah catatan atau semacam kesimpulan obyektif yang hadir
dari sejumlah peristiwa politik yang nyaris selalu melibatkan elite. Kalau
demikian, makna bukan pembenaran atau dalih. Makna melibatkan aspek-aspek
akademis dan filosofis. Tidak semua peristiwa politik dicatat punya makna yang
sama dengan dalih para politisi yang terlibat atau terkait kepentingan dengan
peristiwa-peristiwa politik. Makna selalu dikaitkan dengan konteks kepentingan
bangsa, sementara pembenaran politik lebih ke konteks kelompok bersangkutan.
Politik makna, dengan demikian, mengandung kewajiban tanggung jawab semua
pihak untuk mereproduksi aspek-aspek bagus pendidikan politik. Kesadaran akan
tanggung jawab politik untuk kepentingan lebih besar atau kepentingan bangsa
dan kemanusiaan yang lebih luas harus terus dikondisikan di tengah kabut asap
pragmatisme politik yang menutupinya. Pada akhirnya politik lekat sekali dengan
konteks kebudayaan dan lebih dari itu peradaban.
Berpolitik untuk pecah
Apabila kita lihat politik kita hingga dewasa ini, konteks konflik yang
berujung perpecahan itulah yang menonjol. Kekuatan- kekuatan besar yang ada
dalam sejarah politik kita tak luput dari perpecahan. Penyebabnya sering kali
sekadar karena perbedaan kepentingan pragmatis antarelitenya. Pragmatisme cepat
menenggelamkan ideal kepolitikan, padahal tidak ada imbangan pelembagaan
politik yang memadai, sehingga berpolitik sepertinya sekadar untuk berpecah.
Tentu semua itu perlu menjadi bahan evaluasi bersama, betapa politik kita
rentan keterpecahan (divergensi) ketimbang konvergensi politik. Tradisi koalisi
juga belum mengakar benar di perpolitikan kita. Hakikat koalisi itu
penyederhanaan dalam kompetisi politik. Stabilitas presidensial multipartai
jelas terkait dengan hal demikian. Idealnya hanya ada dua koalisi besar di
parlemen. Itu terjadi sekarang, di mana teoretis bermakna positif. Pasalnya,
sepuluh kekuatan politik diringkas saja menjadi dua.
Logika politik parlemen tentu tidak mengabaikan aspek kompetisi. Pembagian
kekuasaan, karena itu, menjadi hal yang lazim. Ketika ada konflik yang
bertendensi sekadar pembagian jatah kekuasaan mengemuka, pemecahannya
sesungguhnya lebih mudah ketimbang konflik ideologis. Selalu ada jalan keluar
atas konflik politik pragmatis karena rumusnya sudah jelas pula: negosiasi
ulang.
Kita berharap konflik dan konsensus dalam politik kita, di dalam atau luar
parlemen, tetap meninggalkan makna. Politik kita harus ke arah politik makna,
bukan politik hampa.
M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana
Ilmu Politik Universitas Nasional
Kompas : 24 November 2014
Post a Comment