ADALAH sebuah ironi menyaksikan banyak orang ”pintar” yang
belum bisa menerima kenyataan bahwa seorang juragan mebel kelas kampung mampu
menjadi presiden dari sebuah negara yang GDP-nya masuk dalam 10 besar negara di
dunia.
Mereka mengkritik dan menghujat bahkan berusaha menjegal
langkah-langkah strategis yang akan diambil. Mulai dari soal arak-arakan pesta
rakyat menyambut pelantikan presiden baru, lambatnya proses pembentukan
kabinet, pemilihan nama-nama beberapa anggota kabinet yang dianggap sebagai
kontroversi, blusukan para menteri kabinet yang dianggap pencitraan belaka,
peluncuran tiga kartu yang dianggap inkonstitusional, hingga rencana pengalihan
subsidi yang dianggap prokapitalis.
Saya mengupas fenomena Jokowi dari kacamata manajemen
strategis. Fenomena Joko Widodo memang sebuah antitesis dari pemerintahan
sebelumnya. Sebagai sebuah antitesis, pendekatan yang dilakukan Jokowi memang
sangat berbeda dengan pendekatan pemerintah sebelumnya. Kalau SBY dikenal
sebagai seorang ahli strategi yang andal dalam proses strategy formulation,
Jokowi lebih menekankan pada aspek eksekusi strateginya.
Studi pada ranah manajemen strategis membuktikan, sebagian
besar kegagalan sebuah perusahaan dalam menciptakan keunggulan bersaing bukan
terletak pada konten strateginya, melainkan pada proses eksekusi strategi.
Strateginya mungkin sudah sangat bagus disusun, tetapi lemah dalam proses
eksekusinya. Fenomena serupa juga terjadi.
Ironisnya di sekolah-sekolah bisnis, bahkan di sekolah
keilmuan dalam ranah manajemen strategis, pembahasan soal eksekusi strategi
mendapatkan porsi jauh lebih kecil dibandingkan dengan pembentukan dan konten
strategi itu sendiri. Eksekusi dianggap sebagai manajemen kelas bawah (low
level management) yang bersifat taktis dan kurang ”bersifat strategis”.
Kritik ini juga sempat dilontarkan pengamat ketika
menyaksikan debat capres, yang menganggap level Jokowi cuma ”eksekutor”. Maka,
wajar dan bisa dimengerti jika banyak ”manajer” lulusan sekolah bisnis, bahkan
doktor sekalipun, gagal ketika harus mengeksekusi strategi indah yang sudah
direncanakan. Ini sebuah ”pembenaran” yang bisa diterima secara akademis,
sekaligus sebuah keniscayaan yang naif.
Penekanan Jokowi pada eksekusi strategi tergambar jelas dari
pemilihan nama Kabinet Kerja. Untuk mendukung keberhasilan eksekusi
strateginya, tidak mengherankan jika pemilihan anggota kabinet didominasi
orang-orang yang memiliki aliran sama.
Beberapa nama menonjol, seperti Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti, Menhub Ignatius Jonan, Menpora Imam Nahrawi,
Menaker Hanif Dhakiri, dan Mendag Rahmat Gobel, langsung mewarnai pemberitaan
media dengan gerakan blusukan mereka. Sebagai sebuah langkah awal, hal ini tentu
harus diapresiasi. Lewat blusukan diharapkan banyak hambatan dan simpul-simpul
kendala dalam eksekusi strategi bisa diurai secara langsung.
Kunjungan perdana Jokowi ke Sinabung contoh sukses bagaimana
pemimpin terjun langsung ke lapangan dan mengambil langkah strategis sesuai
temuan di lapangan. Mintzberg (1998) dalam 5P Strategy menyebut hal ini sebagai
strategi sebuah pola, yaitu munculnya inisiatif-inisiatif strategis berdasarkan
pada perkembangan kondisi lingkungan eksternal tempat proses strategi formulasi
dan formasi dilakukan.
Langkah Jokowi mengubah nomenklatur Kabinet Kerja juga
sejalan dengan teori yang dikemukakan Chandler (1962). Menurut Chandler,
struktur perusahaan perlu disesuaikan dengan pilihan strategi yang diambil.
Pada ranah negara yang dimaksud dengan struktur adalah nomenklatur kabinet.
Kalau melihat visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK yang terinspirasi oleh
konsep Trisakti yang dikemukakan Presiden Soekarno tahun 1963, yaitu berdaulat
secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial
budaya, memang perubahan nomenklatur kabinet dilakukan untuk mengamankan visi
dan misi tersebut.
Satu lagi fenomena yang menarik, yaitu soal perubahan budaya
yang diterapkan oleh Jokowi dalam pemerintahannya. Revolusi mental yang
dicanangkan Jokowi pada hakikatnya adalah sebuah perubahan budaya. Jokowi
adalah penganut falsafah bahwa pemerintah itu hakikatnya adalah ”pelayan”
masyarakat. Maka, tentu pemerintah sebagai ”pelayan” harus bekerja semaksimal
mungkin demi masyarakat yang dilayaninya. Lewat blusukan saat menjadi Gubernur
DKI, Jokowi berusaha memberikan contoh implementasi perubahan budaya ini di
lingkungan kerjanya.
Penggunaan baju putih sebagai ”simbol” di acara pengumuman
kabinet dan batik di acara pelantikan kabinet juga cermin dari perubahan budaya
yang sedang diimplementasikan. Ini sejalan dengan tokoh Resource Based View,
yaitu Barney (1986), yang mengemukakan bahwa budaya sebagai sebuah sumber daya
bisa menjadi sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan. Dalam hal ini Jokowi
menyelaraskan budaya dengan pilihan strateginya.
Mencermati semua fenomena di atas, saya sebagai seorang
praktisi dan akademisi di ranah manajemen strategis yakin, Jokowi sebagai
sebuah antitesis ternyata adalah seorang ”strategist” sekaligus ”eksekutor”
yang andal. Waktu yang akan membuktikannya. Mari kita kawal pemerintahan baru
ini demi Indonesia yang lebih.
Harris Turino
Doctor in Strategic
Management
Kompas : 11 November 2014
Post a Comment