Oleh
: Donny Gahral Adian
MEMBACA
judul artikel ini, siapa saja pasti bertanya, ”apa hubungannya bencana dan
politik?” Bencana adalah sesuatu yang natural, sementara politik sebaliknya.
Padahal, sejatinya tidak ada lagi yang natural
di kolong langit ini. Kadar toksin di air minum kita adalah akibat
kebijakan politik yang ngawur. Banjir menahun yang melanda republik ini juga
tak ada bedanya.
Politik
dan bencana tak dapat dipisahkan.
Politik, bagi saya, memiliki tingkat
kecerdasannya sendiri. Pemberian sembako, perahu karet, dan selimut memang
membantu, tetapi bukan sesuatu yang cerdas. Bencana harus dihentikan dari hulu.
Persoalannya, hulu bencana tidak pernah diatasi secara cerdas oleh politik.
Politik ”asjadut”
Politik
bukan semata urusan perebutan kekuasaan. Lebih substansial dari itu, politik
adalah seni memakai kekuasaan demi kepentingan umum. Saya harus menggunakan
bahasa terang. Tingkat kecerdasan politik kita masih beredar pada level
”asjadut” alias ”asal jadi duit”. Politik semacam inilah yang memberi izin
pembangunan rumah peristirahatan di daerah resapan, membiarkan alih fungsi
lahan tanpa kendali, meloloskan pembalak
liar, dan menutup mata terhadap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)
demi kas negara.
Politik
”asjadut” mungkin memompa pertumbuhan ekonomi. Program mobil murah, misalnya,
membuka lapangan pekerjaan di sektor otomotif. Namun, peningkatan polusi yang
ditimbulkan tak ada di kalkulator para politisi ”asjadut”. Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada
industri perkebunan jelas positif bagi ekonomi lokal. Akan tetapi, konsekuensi
ekologisnya diserahkan begitu saja pada teka-teki masa depan.
Politik
”asjadut” bukan kelakuan pemerintah kita saja. Pada kurun waktu 1970-1980,
Pemerintah Brasil mendukung pembakaran hutan tadah hujan demi lahan peternakan
sapi. Ini disebabkan kenaikan permintaan daging sapi oleh resto-resto cepat
saji di Amerika Serikat. Politik ”asjadut” di Brasil ini juga dikenal dengan
sebutan ”hamburgerisasi hutan tadah hujan”.
Meski
begitu, politik ”asjadut” tetap dapat dibela secara akademis. Sebagian akademisi berargumen bahwa jalan
tercepat menuju penyelamatan lingkungan adalah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan
pendapatan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa non-material atau
semi-material sekaligus kualitas lingkungan yang baik.
Beckerman
(1992) menyebutkan, dalam jangka panjang, cara paling tepat untuk meningkatkan
kualitas lingkungan adalah menjadi kaya. Argumen yang lebih ekstrem menyatakan
betapa regulasi lingkungan yang menurunkan pertumbuhan ekonomi justru
mendegradasi kualitas lingkungan.
Politik
”asjadut” dapat dibenarkan. Kenaikan pendapatan akibat dibangunnya pabrik
sepatu di lahan pertanian berdampak positif terhadap lingkungan. Kuznets (1966)
menyebutkan bahwa pada saat pendapatan per kapita mencapai titik tertentu maka
terjadi perubahan struktural, yakni peralihan ke industri berbasis informasi,
teknologi yang lebih efisien, dan peningkatan permintaan terhadap kualitas
lingkungan.
Persoalannya,
logika ”asjadut” semacam itu terbentur beberapa persoalan krusial. Pertama,
pada pendapatan per kapita berapakah perubahan terjadi. Kedua, berapa besar
kerusakan sudah terjadi sebelum kita mencapai tingkat pendapatan per kapita
tersebut. Ketiga, apakah ambang batas ekologis sudah terlanggar dan kerusakan
yang tak dapat diperbaiki sudah kadung terjadi sebelum kualitas lingkungan
membaik akibat pertumbuhan ekonomi. Keempat, korelasi antara perbaikan kualitas
lingkungan dan pertumbuhan ekonomi tidak otomatis sebab mensyaratkan reformasi
institusional dan kebijakan.
Politik
kehati-hatian
Hulu
bencana adalah politik yang tidak cerdas secara ekologis (politik ”asjadut”).
Saya yakin sampai kiamat pun persoalan bencana alam di republik ini tidak akan
tuntas sebelum cara berpikir politik ”asjadut” dirombak total.
Logika
”asjadut” bersandar pada antropologi purba ilmu ekonomi. Ekonomi mematok
manusia sebagai dia yang memuaskan nafsu dengan cara-cara yang efisien. Akal
sehat bertugas memilih cara yang paling tepat untuk memuaskan nafsunya. Akal
dikendalikan dan bukan mengendalikan nafsu.
Seseorang
tahu kalau dia hanya boleh minum segelas kopi sehari karena alasan kesehatan.
Namun, nafsu mampu membuat keputusan akalnya menjadi tidak sehat. Dia akan
berpikir, ”minum segelas kopi lagi tidak akan berdampak serius”.
Akal
yang dirasuki nafsu cenderung mendiskon masa depan. Teori keputusan (decision
theory) menyebutnya diskon hiperbolis. Artinya, seorang cenderung memilih
keuntungan kecil yang didapat dalam
jangka pendek ketimbang keuntungan besar dalam jangka panjang.
Ini
menjelaskan mengapa orang tidak mengatur pola makannya sehingga mengidap
obesitas. Ini juga menjelaskan mengapa pemerintah cenderung membiarkan alih
fungsi lahan untuk industri manufaktur demi terbukanya lapangan pekerjaan.
Pemerintah tidak berpikir panjang tentang dampak ekologis yang akan merugikan
di masa yang akan datang.
Pemerintah
semacam itu menjalankan politik secara serampangan. Itu pun kalau tidak boleh
dibilang bodoh. Buat apa pertumbuhan ekonomi jika sebagian orang terpaksa
menggunakan air hujan untuk memasak? Kesejahteraan tidak semata-mata diukur
dari berapa uang yang ada di kantong. Uang banyak tidak ada artinya jika
kualitas hidup terus melorot tiap tahunnya karena lingkungan yang tak layak
huni?
Pemerintah
dapat berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi secara otomatis memperbaiki tingkat
pendidikan, yang pada gilirannya membuat orang sensitif terhadap isu
lingkungan. Kenyataannya, banjir terjadi di kota-kota besar yang disesaki kelas
menengah terdidik.
Demi
mencegat bencana dari hulunya, kebodohan politik yang dilakukan pemerintah saat
ini harus dihentikan. Alih fungsi lahan
harus ditinjau ulang. Hak pengusahaan hutan jangan dibagikan layaknya permen
untuk anak kecil. Analisis mengenai dampak lingkungan mutlak diberlakukan
secara ketat dan konsisten. Kebijakan mobil murah harus dihentikan. Rumah-rumah
peristirahatan yang menempati daerah resapan air harus diratakan. Dan, ini
kalau berani, kawasan rawan banjir menjadi daerah terlarang bagi pembangunan properti,
apa pun bentuknya. Sudah saatnya hutan beton ditebangi sementara hutan kota diperluas.
Sebagian
orang mungkin menyanggah, ”belum tentu alih fungsi lahan adalah penyebab
bencana yang selama ini terjadi”. Atau, ”belum ada bukti-bukti ilmiah yang mengaitkan
antara pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan berbagai bencana yang
terjadi”.
Politik
”asjadut” akan berpegang pada argumen: ”tanpa bukti-bukti yang mencukupi, segala regulasi untuk mengurangi risiko tidak
perlu diberlakukan”. Padahal, politik dewasa ini sudah lebih cerdas dari
sebelumnya. Politik dewasa ini menganut apa yang disebut ”prinsip
kehati-hatian”. Prinsip ini berbunyi, ”saat dihadapkan pada peluang katastrofi,
absennya bukti-bukti ilmiah tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membatalkan
kebijakan yang mencegah degradasi ekologis”.
Politik
yang cerdas berpikir, ”lebih baik selamat ketimbang menyesal kemudian”.
Sebaliknya, politik ”asjadut” semata-mata berpikir, ”lebih baik menyesal
ketimbang selamat kemudian”. Semoga kita semua dijauhkan dari kebodohan politik
semacam itu. Amin.
Donny Gahral Adian,
Dosen
Filsafat Universitas Indonesia
Post a Comment